Sabtu, 15 Oktober 2011

Nenek Pemungut Daun Kering


Maulid Nabi Muhammad SAW masih terus diperingati di sejumlah masjid dan mushola di daerah Condet Jakarta Timur. Semalam giliran mushola al-Barkah mengadakannya. Mushola pun dipenuhi jamaah, bapak-bapak dan anak-anak. Tak terlihat para perempuan di acara tersebut.
Jamaah hanyut dalam pembacaan shalawat yang diiringi harmoni musik hadrah. Hentakan dan dentuman bassnya menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Sentuhan shalawat yang dibawakan dengan kehidmatan yang luar biasa menyihir jamaah yang hadir.
Jamaah semakin larut dalam penghayatan yang dalam ketika masuk pada acara selanjutnya, siraman rohani. Seorang penceramah tampil dan mengangkat sebuah cerita haru tentang nenek pemungut daun kering.
Cerita dimulai dengan adanya seorang nenek yang selalu datang dari arah pasar ke masjid ketika adzan dzuhur berkumandang. Peristiwa ini terjadi di salah satu kabupaten di pulau Madura. Penceramah mengatakan bahwa cerita yang disampaikannya merupakan cerita nyata.
Sang penceramah melanjutkan ceritanya. Ketika azhan dzuhur berkumumandang, seorang nenek terlihat datang ke masjid. Ia langsung menuju tempat wudhu dan mengikiuti shalat dzuhur berjamaah. Ketika usai shalat. Ia pun tetap duduk mengikuti dzikir sampai selesai seperti jamaah yang lainnya.
Sepintas tidak ada yang berbeda dengan jamaah yang lain. Yang membedannya, setelah selesai wirid dan do’a, jamaah yang lain langsung meninggalkan masjid. Sementara nenek yang itu tidak. Ia keluar masjid menuju halaman muka masjid, biasanya halaman masjid kabupaten berhalaman luas. Sang nenek mengeluarkan plastik kresek dari lilitan stagennya.
Si nenek itu memunguti daun-daun kering yang berserakan di sekitar halaman masjid. Ia pungut daun itu satu persatu dan dimasukkan ke kantung plastik yang sudah disiapkannya. Sampai halaman itu bersih, tak ada daun yang tersisa. Setelah itu kembali ke pasar.
Hari demi hari sang nenek melakukannya. Awalnya tidak ada yang memperhatikan. Sampai kemudian ada seorang jamaah yang memperhatikannya. Jamaah itu menengurnya ketika melihat peluh mengucur di wajah dan badan si nenek. “Nek, sudah, biarkan saja nanti ada petugas masjid yang membersihkan”.
Hari berikutnya, nenek tetap saja memunguti daun-daun kering yang ada dihalaman masjid itu. Jamaah lainnya turut memberitahu si nenek tersebut. Tetapi nenek itu tetap saja melakukannya, tidak mengindahkan saran jamaah masjid itu.


Akhirnya cerita si nenek itu sampai juga ke pengurus masjid. Pengurus masjid berusaha memberitahu si nenek itu sebagaimana jamaah masjid. Tetapi si nenek tetap saja melakukan aktifitasnya memungut daun kering di tengah terik matahari yang menyengat.
Pengurus masjid tidak hilang akal. Mereka menceritakan prilaku si nenek itu pada Kyai kharismatik yang disegani masyarakat di wilayah itu. Pada satu kesempatan, Kyai itu mengudang si nenek untuk ngobrol. Si nenek itu sagat hormat pada Kyai itu. Ia ternyata mengenalnya.
Kyai didampiningi sejumlah pengurus masjid memulai pembicraannya “ Nek, jika nenek tidak keberatan dan ridlo saya ingin tahu mengapa nenek memunguti daun-daun kering di halaman masjid setiap selesai shalat dzuhur?” Kyai itu bertanya dengan hati-hati. Si nenek diam, akhirnya nenek buka suara. “Pak Kyai, saya bersedia bercerita mengapa saya melakukan itu dengan dua syarat” pak Kyai menjawab “baik nek, apa saja syaratnya?”. Si nenek melanjutkan “pertama, saya hanya ingin bicara dengan Kyai seorang. Kedua, cerita ini tidak boleh diceritakan pada orang lain kecuali setelah saya meninggal, itu terserah pak Kyai”. Pak Kyai menyanggupi syarat yang disampaikan si nenek.
Si nenek pun mulai cerita mengapa selama ini ia memunguti daun kering di halaman masjid. “Pak Kyai, saya ini orang yang tidak mempunyai amal yang bisa dibanggakan untuk menghadap sang Kholik”. Si nenek melanjutkan “saya ini orang bodoh yang tidak bisa beramal dengan ilmu, terkadang saya iri melihat orang-orang pintar dengan sederet gelar dan mereka dapat beramal dengan ilmu yang dimilikinya. Saya juga bukan orang yang kaya raya yang dapat beramal dengan hartanya, menyantuni anak yatim, pakir miskin dan menyumbang pembangunan masjid. Saya juga bukan orang yang ahli ibadah yang beribah dengan khusu’ dan bangun malam untuk shalat tahajud. Saya malu pak Kyai, saya tidak punya amal yang bisa dibanggakan.
Di tengah keputusasaan, saya mendengar seorang Kyai ceramah yang mengatakan bahwa seorang yang menyebut dan mencintai nabi dengan ikhlas ia akan diingat juga oleh nabi dan akan mendapat syafaatnya. Sejak mendengar itu saya berusaha mengingat nabi dengan membaca shalawat.” Kyai kharismatik itu bertanya “lalu apa hubungannya dengan nenek memunguti daun kering di halaman masjid?”. Nenek menjawab “setiap daun yang saya pungut, saya membaca shalawat. Semoga daun-daun itu menjadi saksi di akhirat nanti”. Mendengar jawaban si nenek, Kyai kharismatik itu hanya bisa terdiam tak kuasa berkata apa-apa. Air matanya pun meleleh, haru. Ternyata nenek itu mempunyai kecintaan yang sangat besar pada Nabi Muhammad SAW.
Penceramah pada malam itu masih mengulas tentang cinta kepada nabi Muhammad sampai selesai. Jamaah yang hadir mengikuti sampai akhir dengan menimba hikmah kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Akhirnya, acara maulid di tutup dengan untaian doa. Jamaah pun disuguhi santap malam bersama dengan nasi kebuli yang disajikan dalam nampan. Setiap nampan untuk tiga orang dan makan secara bersama-sama. Terasa indah dalam kebersamaan.
Cerita nenek pemungut daun kering itu terasa memempel pada setiap jamaah yang hadir. Menjadi teladan bagi siapa pun yang mencinta Nabi Muhammad SAW dengan tulus. Menjadi cermin seberapa besar cinta kita kepada rasul Allah itu. 
(sosbud.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar